Langsung ke konten utama

KEBODOHAN MANUSIA TERHADAP MAKNA TAUHID



Masih terngiang-ngiang dalam ingatan kita ketika dulu zaman masih sekolah SD atau SMP, kita diajarkan bahwa makna kalimat tauhid “laa ilaaha illallah” adalah “Tidak ada Tuhan selain Allah”. Inilah makna yang selama ini terpatri dalam hati sanubari kita tanpa sedikit pun kita berfikir tentang kebenaran makna tersebut. Karena memang itulah yang diajarkan oleh guru-guru kita pada saat masih sekolah dulu dan yang tertulis atau tercetak dalam buku-buku pelajaran agama kita.
Kesalahpahaman ini tidak hanya dialami oleh masyarakat awam, bahkan orang-orang yang dikenal sebagai “cendekiawan” muslim pun salah paham tentang makna kalimat tauhid ini. Buktinya, di antara mereka ada yang mengartikan “laa ilaaha illallah” sebagai “Tidak ada tuhan (“t” kecil) selain Tuhan (“t” besar)”.

Untuk Apa Kita Membahas Makna Kalimat Tauhid?

Mungkin inilah pertanyaan yang muncul di benak para pembaca berkaitan dengan pembahasan kita dalam tulisan ini. Ya, untuk apa kita membahas makna kalimat tauhid? Toh kita sudah mengucapkannya, kita pun sudah melaksanakan ajaran agama Islam seperti shalat lima waktu, setiap hari Jumat kita pergi ke masjid untuk shalat Jumat, atau setiap bulan Ramadhan kita berpuasa.
Perlu diketahui, kalimat “laa ilaaha illallah” adalah rukun pertama dan rukun yang paling penting sehingga seseorang dapat disebut sebagai seorang muslim. Karena seorang muslim adalah hamba yang taat dan tunduk kepada Allah Ta’ala, dan hal itu tidaklah mungkin terlaksana kecuali dia meyakini dalam hatinya tentang makna kalimat tersebut. Kalimat tauhid merupakan pokok agama Islam dan sumber kekuatan Islam. Adapun aqidah dan hukum-hukum Islam yang lain, semuanya dibangun di atas landasan kalimat tauhid. Kekuatan bangunan Islam tidaklah mungkin kokoh kecuali bersumber dari kekuatan kalimat tauhid. Apabila landasan tersebut hancur, maka hancurlah pula Islam seseorang dan tidak akan tersisa sama sekali. [1]
Yang perlu digarisbawahi juga adalah bahwa kalimat “laa ilaaha illallah” yang diucapkan oleh seseorang tidak akan bermanfaat kecuali dengan memenuhi seluruh syarat-syaratnya dan mengamalkan konsekuensinya, baik secara lahir maupun batin. [2] Hal ini juga sebagaimana ibadah shalat yang tidak akan sah kecuali dengan memenuhi syarat dan rukunnya, serta tidak melakukan pembatal shalat.
Di antara syarat persaksian “laa ilaaha illallah” yang harus dipenuhi adalah seseorang harus mengetahui makna kalimat tersebut. Allah Ta’ala berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah.” [QS. Muhammad : 19]
Begitu juga Allah Ta’ala berfirman,
إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui dengan benar (laa ilaha illallah) dan mereka meyakini(nya).” [QS. Az-Zukhruf : 86]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, maka dia akan masuk surga.” [HR. Muslim no. 145]
Dari dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tersebut, para ulama rahimahullah menyimpulkan bahwa salah satu syarat sah “laa ilaaha illallah” adalah seseorang mengetahui makna “laa ilaaha illallah” dengan benar.
Ketika seseorang bertanya kepada Wahab bin Munabbih rahimahullah“Bukankah kalimat ‘laa ilaaha illallah’ itu adalah kunci surga?” maka beliau rahimahullah menjawab,
بَلَى ، وَلَكِنْ لَيْسَ مِفْتَاحٌ إِلاَّ لَهُ أَسْنَانٌ ، فَإِنْ جِئْتَ بِمِفْتَاحٍ لَهُ أَسْنَانٌ فُتِحَ لَكَ ، وَإِلاَّ لَمْ يُفْتَحْ لَكَ
“Benar. Akan tetapi, tidak ada sebuah kunci kecuali pasti memiliki gerigi. Jika Engkau memasukinya dengan kunci yang memiliki gerigi, maka pintu tersebut akan terbuka. Namun jika tidak memiliki gerigi, maka pintu tersebut tidak akan terbuka.” [HR. Bukhari dengan shighat ta’liq di Kitab Al-Janaiz, Bab “Man Kaana Akhiru Kalaamihi Laa ilaaha Illallah”, 5/76]
Lalu, apakah yang menjadi gerigi dari kunci tersebut? Gerigi dari kunci “laa ilaaha illallah” tidak lain adalah syarat-syarat “laa ilaaha illallah.” [3] Dan di antara syarat “laa ilaaha illallah” adalah seseorang memahami makna yang terkandung di dalamnya.

Makna dari Kalimat “Tidak Ada Tuhan selain Allah”

“Tidak ada Tuhan selain Allah” merupakan makna kalimat “laa ilaaha illallah” yang populer di kalangan kaum muslimin. Dalam hal ini, kata “ilah” diartikan dengan kata “Tuhan”. Namun perlu diketahui bahwa kata “Tuhan” di dalam percakapan bahasa Indonesia memiliki dua makna, yaitu:
Pertama, kata “Tuhan” yang identik dengan pencipta, pengatur, pemberi rizki, yang menghidupkan, yang mematikan, dan yang dapat memberikan manfaat atau mendatangkan madharat. Ringkasnya, kata “Tuhan” di sini dimaknai dengan makna rububiyyah (sifat-sifat ketuhanan).
Kedua, kata “Tuhan” yang berarti sesembahan. Yaitu sesuatu yang menjadi tujuan segala jenis aktivitas ibadah. [4]
Karena terdapat dua makna untuk kata “Tuhan”, maka kalimat “Tidak ada Tuhan selain Allah” juga memiliki dua pengertian, yaitu:
Pengertian pertama, yaitu: “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta selain Allah.”
Pengertian kedua, yaitu: “Tidak ada sesembahan selain Allah.”
Oleh karena itu, dalam pembahasan selanjutnya kita akan meninjau apakah memaknai kalimat “laa ilaaha illallah” dengan dua pengertian tersebut sudah benar serta berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah?


Baca selengkapnya https://muslim.or.id/45149-kebodohan-kita-terhadap-makna-kalimat-tauhid-bag-1.html


“Tidak Ada Tuhan selain Allah”: Tidak Ada Pencipta, Pemberi rizki, dan Pengatur alam semesta selain Allah

Memaknai “laa ilaaha illallah” dengan kalimat “Tidak ada Tuhan selain Allah” yang berarti: “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta selain Allah” adalah pemahaman atau pemaknaan yang keliru.
Berikut ini kami sampaikan tiga bukti yang menunjukkan kesalahan tersebut.

Bukti pertama,

Kaum musyrikin pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengakui bahwa Allah Ta’ala adalah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Memberi rizki, dan Mengatur alam semesta.
Sebelumnya perlu disampaikan terlebih dahulu bahwa keyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Memberi rizki, dan Mengatur alam semesta adalah keyakinan dan aqidah yang benar serta tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah, Yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan, dan bintang-bintang, (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam.” [QS. Al-A’raf : 54]
Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa keyakinan seperti ini juga dimiliki oleh kaum musyrikin Arab pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam berdakwah dahulu. Hal ini dapat kita ketahui dari dalil-dalil berikut ini.
Dalil pertama, Allah Ta’ala berfirman,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ Tentu mereka akan menjawab, ’Allah’.” [QS. Luqman : 25]
Dalil kedua, Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Katakanlah, ’Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab, ’Allah.’ Maka katakanlah, ’Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?’” [QS. Yunus : 31]
Dalil ketiga, Allah Ta’ala berfirman,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
“Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?’ Tentu mereka akan menjawab, ’Allah.’ Katakanlah, ’Segala puji bagi Allah.’ Akan tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).” [QS. Al-‘Ankabuut : 63]
Dalil keempat, Allah Ta’ala berfirman,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, ’Siapakah yang menciptakan mereka?’, niscaya mereka menjawab, ’Allah.’ Maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah Ta’ala)?” [QS. Az-Zukhruf : 87]
Dalil kelima, Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ ؛ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Katakanlah, ’Siapakah pemilik langit yang tujuh dan pemilik ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab, ’Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ’Maka apakah kamu tidak bertakwa?’” [QS. Al-Mu’minuun : 86-87]
Dari ayat-ayat di atas jelaslah bahwa kaum musyrikin pada zaman dahulu meyakini sifat-sifat rububiyyah Allah, yaitu bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Dzat Yang Memberi rizki, dan Dzat Yang Mengatur urusan alam semesta. Namun, keyakinan seperti itu ternyata belum cukup untuk memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang yang bertauhid. Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tetap memerangi mereka, menghalalkan darah dan harta mereka meskipun mereka memiliki keyakinan seperti itu.
Oleh karena itu, apabila kalimat “laa ilaaha illallah” diartikan dengan “Tidak ada pencipta selain Allah”, “Tidak ada pemberi rizki selain Allah”, atau “Tidak ada pengatur alam semesta selain Allah”, maka apakah yang membedakan antara orang-orang musyrik dan orang-orang Islam? Jika orang-orang musyrik itu masuk Islam dengan dituntut mengucapkan kalimat “laa ilaaha illallah” dengan makna seperti itu, lantas apa yang membedakan mereka ketika masih musyrik dan ketika sudah masuk Islam? Bukankah ketika mereka masih musyrik juga sudah mengakui bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Dzat Yang Memberi rizki, dan Dzat Yang Mengatur urusan alam semesta?

Bukti ke dua,

Penolakan orang-orang musyrik untuk mengucapkan kalimat “laa ilaaha illallah”.
Bukti bahwa makna kalimat “laa ilaaha illallah” bukanlah “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, atau pengatur alam semesta selain Allah” juga dapat dilihat dari penolakan kaum musyrikin untuk mengucapkan kalimat tersebut. Karena apabila itulah makna kalimat tauhid, tentu mereka tidak akan keberatan sama sekali untuk mengucapkan kalimat “laa ilaaha illallah”. Karena mereka sendiri sudah memiliki keyakinan tentang hal itu. Tentu mereka pun tidak akan memusuhi dan memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena dakwahnya tersebut. Namun yang kita dapati justru sebaliknya, mereka tidak mau mengucapkan kalimat tersebut, bahkan mereka memusuhi, menyiksa, dan membunuh setiap orang yang mau mengucapkan kalimat tersebut.
Buktinya, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru mereka untuk mengucapkan kalimat tauhid, kaum musyrikin pada waktu itu tidak mau menyambut seruan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka justru mengatakan sebagaimana yang dikisahkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
“Mengapa ia menjadikan sesembahan-sesembahan itu sebagai sesembahan yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” [QS. Shaad : 5] (Lihat At-Tanbiihatul Mukhtasharah, hal. 34)
Kalaulah maksud Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kalimat tauhid tersebut adalah “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, atau pengatur alam semesta selain Allah”, tentu kaum musyrikin tersebut segera menyambut dakwah beliau dengan senang hati dan suka cita. Karena apa yang beliau dakwahkan sudah sama dengan apa yang mereka yakini sebelumnya.
Selain itu, marilah kita melihat kisah paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Abu Thalib. Abu Thalib adalah seseorang yang telah banyak berjasa membantu dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, Abu Thalib tetap enggan untuk mengucapkan kalimat “laa ilaaha illallah”. Bahkan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Thalib untuk mengucapkan kalimat ini di akhir hayatnya, dia tetap saja enggan untuk mengucapkannya.
Berikut ini kisah selengkapnya:
لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ ، وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِى أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – لأَبِى طَالِبٍ، يَا عَمِّ ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ . فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِى أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ ، أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ ، وَيَعُودَانِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ ، حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ .
“Ketika Abu Thalib hendak meninggal dunia, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya. Di sisi Abu Thalib ada Abu Jahal bin Hisyam dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah bin Mughirah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Thalib, ’Wahai pamanku! Katakanlah ‘laa ilaaha illallah’, suatu kalimat yang dapat aku jadikan sebagai hujjah (argumentasi) untuk membelamu di sisi Allah.’
Maka Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah berkata, ’Apakah Engkau membenci agama Abdul Muthallib?’ Maka Rasulullah terus-menerus mengulang perkataannya tersebut, sampai Abu Thalib akhirnya tidak mau mengucapkannya. Dia tetap berada di atas agama Abdul Muthallib dan enggan untuk mengucapkan ‘laa ilaaha illallah’.” [HR. Bukhari no. 1360 dan Muslim no. 141]
Sekali lagi, penolakan Abu Thalib dan kaum musyrikin secara umum untuk mengucapkan “laa ilaaha illallah” menunjukkan bahwa makna kalimat tersebut bukanlah “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, atau pengatur alam semesta selain Allah”, karena keyakinan seperti ini telah mereka miliki sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah.

Bukti ketiga,

Konsekuensi dari makna tersebut berarti kaum musyrik pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah orang musyrik. Demikian pula, segala jenis perbuatan mereka yang menujukan ibadah kepada selain Allah Ta’ala berarti bukan syirik.
Kesalahan memaknai “laa ilaaha illallah” dengan “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, atau pengatur alam semesta selain Allah” juga dapat disimpulkan dari konsekuensi yang ditimbulkan oleh makna tersebut. Karena konsekuensi dari makna tersebut adalah seseorang tetap disebut sebagai seorang muslim meskipun dia berdoa meminta kepada para wali yang sudah mati, atau berdoa kepada Allah Ta’ala melalui perantaraan (tawassul) orang-orang shalih yang sudah meninggal, atau menyembelih untuk jin penunggu jembatan, selama mereka memiliki keyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Memberi rizki, dan Mengatur alam semesta. Maka sungguh, ini adalah kekeliruan yang sangat fatal. Karena ternyata makna tersebut akan membuka berbagai macam pintu kemusyrikan di tengah-tengah kaum muslimin.
Padahal Allah Ta’ala tetap menyebut perbuatan orang-orang musyrik itu sebagai perbuatan syirik, meskipun mereka meyakini dan mengakui bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Memberi rizki, dan Mengatur alam semesta. Allah Ta’ala berfirman,
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan. Dan mereka berkata, ’Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.’ Katakanlah, ’Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?’ Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (itu).” [QS. Yunus : 18]
Berdasarkan ayat tersebut, kita dapat mengetahui bahwa alasan kaum musyrikin ketika mereka beribadah kepada selain Allah Ta’ala adalah bukan karena keyakinan bahwa sesembahan-sesembahan selain Allah itulah yang menciptakan atau memberi mereka rizki. Akan tetapi, sesembahan-sesembahan mereka itu hanyalah sebagai perantara dalam mencari syafa’at Allah Ta’ala. Dan mereka tetap memiliki keyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang menciptakan dan Yang memberi rizki untuk mereka.
Kalau makna “laa ilaaha illallah” adalah “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta selain Allah” maka tentu perbuatan kaum musyrikin tersebut tidak bisa disebut sebagai perbuatan syirik. Akan tetapi, di akhir ayat tersebut Allah Ta’ala tetap menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah kesyirikan dalam firman-Nya yang artinya, ”Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan itu.”
Dan apabila makna kalimat tauhid adalah “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta selain Allah” tentu penyebutan perbuatan mereka dengan syirik oleh Allah Ta’ala dalam ayat tersebut adalah penyebutan yang keliru.
Sebagai kesimpulan, memaknai kalimat tauhid “laa ilaaha illallah” dengan kalimat “Tidak ada Tuhan selain Allah” yang berarti: “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta selain Allah” adalah pemaknaan yang keliru dengan tiga bukti atau tiga argumentasi yang telah kami sampaikan di atas.


Baca selengkapnya https://muslim.or.id/45153-kebodohan-kita-terhadap-makna-kalimat-tauhid-bag-2.html


“Tidak Ada Tuhan selain Allah”: Tidak Ada Sesembahan selain Allah?

Makna ke dua dari kalimat “Tidak ada Tuhan selain Allah” adalah “Tidak ada sesembahan selain Allah” atau “Tidak ada sesembahan kecuali Allah.”
Namun sebelumnya, perlu kita cermati bersama bahwa kalimat “Tidak ada sesembahan kecuali Allah”artinya sama dengan “Semua sesembahan adalah Allah”. Contoh lain adalah ketika kita mengatakan, ”Tidak ada polisi kecuali memiliki pistol”. Maka artinya sama dengan, ”Semua polisi memiliki pistol”. Atau kalimat “Tidak ada siswa kecuali membawa pensil”.Artinya sama dengan, “Semua siswa membawa pensil”. Maka renungkanlah makna ini terlebih dahulu, sebelum berlanjut ke pembahasan selanjutnya.
Memaknai kalimat laa ilaaha illallah dengan “Tidak ada sesembahan selain Allah” juga tidak benar. Meskipun secara bahasa Arab kata “ilah” memiliki makna “al-ma’bud” (sesembahan). Oleh karena itu, sebelum membahas bukti-bukti kesalahan memaknai kalimat “laa ilaaha illallah” dengan “Tidak ada sesembahan selain Allah”, maka terlebih dahulu penulis akan membahas makna “ilah” ditinjau dari sisi bahasa Arab.

“Ilah” memiliki makna sesembahan (sesuatu yang diibadahi)

Secara bahasa, kata ilah diturunkan dari kata alaha (أله) yang memiliki makna ‘abada (عبد) [menyembah atau beribadah]. Kata ilah adalah kata yang memiliki makna objek atau maf’ul (مفعول). Sehingga makna ilah yang benar adalah ma’luh (مألوه), yang sinonimnya adalah ma’bud (معبود) yang berarti “sesuatu yang disembah” atau “sesembahan”. (Lihat At-Tamhiid, hal. 74)
Salah seorang ulama ahli tafsir terkemuka, Ibnu Katsir rahimahullah, ketika menjelaskan tafsir surat An-Naml [27] ayat ke-60,
أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ
“Apakah di samping Allah ada ilah yang lain?”
beliau rahimahullah berkata,
أإله مع الله يعبد
“Apakah di samping Allah ada ilah yang disembah?” (Tafsiir Al-Qur’an Al-‘Adziim, 6: 202)
Sedangkan ulama tafsir yang lain, yaitu Al-Baghawi rahimahullah berkata ketika menjelaskan tafsir ayat yang sama,
استفهام على طريق الإنكار، أي: هل معه معبود سواه أعانه على صنعه؟ بل ليس معه إله
“Pertanyaan tersebut merupakan metode untuk mengingkari. Maksudnya, apakah bersama Allah ada sesembahan yang lain yang membantunya dalam ciptaan-Nya? Bahkan (yang benar) adalah tidak ada ilah yang lain bersama-Nya.” (Ma’aalim At-Tanziil, 6: 171)
Bukti lain yang menunjukkan makna ilah tersebut adalah bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma memiliki qiro’ah (cara membaca) tersendiri pada ayat,
وَقَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ أَتَذَرُ مُوسَى وَقَوْمَهُ لِيُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَيَذَرَكَ وَآلِهَتَكَ قَالَ سَنُقَتِّلُ أَبْنَاءَهُمْ وَنَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ وَإِنَّا فَوْقَهُمْ قَاهِرُونَ
“Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir’aun (kepada Fir’aun), ’Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu dan ilah-ilahmu?’ Fir’aun menjawab, ’Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan perempuan-perempuan mereka kita biarkan hidup. Dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka.’” (QS. Al-A’raf [7]: 127)
Ibnu ‘Abbas sendiri membacanya (وَيَذَرَكَ وَإِلَاهَتَكَ) dengan meng-kasroh hamzah, mem-fathah lam, dan sesudahnya huruf alif. Alasannya, Fir’aun sendiri disembah oleh kaumnya, namun dia tidak menyembah berhala. Maka qiro’ah yang benar adalah (وَيَذَرَكَ وَإِلَاهَتَكَ) sebagaimana yang dibaca oleh Ibnu ‘Abbas. Artinya, beliau radhiyallahu ‘anhuma memahami al-ilahah(الإِلاهة) dengan makna al-‘ibadah (العبادة) yaitu peribadatan. Sehingga maksud ayat adalah “meninggalkanmu, wahai Fir’aun, dan peribadatan manusia kepadamu.” (Lihat At-Tamhiid, hal. 74-75)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,
فالإله الذي يألهه القلب بكمال الحب والتعظيم والاجلال والإكرام والخوف والرجاء ونحو ذلك
“Ilah adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantungnya hati dengan penuh rasa cinta, pengagungan, memuliakan, rasa takut, berharap, dan lain sebagainya.” (Al-‘Ubuudiyyah, 1: 8)
Penjelasan ini juga merupakan salah satu bukti bahwa makna kalimat tauhid bukanlah “Tidak ada Tuhan selain Allah” karena dari sisi bahasa Arab saja sudah keliru. Karena makna ilah secara bahasa adalah al-ma’bud (sesembahan), dan bukan ar-rabbu (tuhan).
Meskipun makna ilah adalah ma’bud (sesembahan), namun memaknai “laa ilaaha illallah” dengan “tidak ada sesembahan selain Allah” (sekali lagi, yang maknanya adalah “semua sesembahan adalah Allah”) tetap saja tidak tepat. Hal itu dapat ditunjukkan dari dua bukti berikut ini.
Bukti pertama, makna tersebut tidak sesuai dengan kenyataan atau realita yang sebenarnya.
Bagaimana mungkin kita memaknai kalimat “laa ilaaha illallah” dengan “tidak ada sesembahan selain Allah”, padahal realita menunjukkan bahwa terdapat sesembahan yang lain di samping Allah? Syaikh Muhammad At-Tamimy rahimahullah menjelaskan bahwa kaum musyrikin pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki sesembahan yang bermacam-macam. Di antara mereka ada yang menyembah malaikat, ada yang menyembah Nabi dan orang-orang shalih, ada yang menyembah matahari dan bulan, serta ada pula yang menyembah batu dan pohon. (Lihat Syarh Al-Qawa’idul Arba’, hal. 25 karya Syaikh Shalih Al-Fauzan)
Perkataan beliau rahimahullah tersebut dapat ditunjukkan dengan ayat-ayat berikut ini.
Ayat pertama, dalil yang menunjukkan matahari dan bulan sebagai sesembahan orang musyrik adalah firman Allah Ta’ala,
وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah menyembah matahari maupun bulan.“ (QS. Fushilat [41]: 37)
Syaikh Shalih Fauzan hafidzahullah menjelaskan,
”(Ayat tersebut) menunjukkan bahwa ada orang yang menyembah matahari dan bulan. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk melaksanakan shalat ketika matahari terbit atau tenggelam dalam rangka menutup sarana menuju kesyirikan. Karena ada orang yang menyembah matahari ketika terbit atau tenggelam, maka Rasulullah melarang kita untuk melaksanakan shalat pada kedua waktu tersebut, meskipun shalatnya tersebut ditujukan kepada Allah. Akan tetapi, ketika shalat dalam kedua waktu tersebut menyerupai perbuatan orang-orang musyrik maka hal tersebut dilarang dalam rangka menutup sarana yang dapat mengantarkan kepada kesyirikan. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang perbuatan syirik dan menutup sarana yang dapat mengantarkan kepada syirik tersebut.” (Lihat Syarh Al-Qawa’idul Arba’, hal. 28-29)
Ayat ke dua, dalil yang menunjukkan bahwa malaikat adalah salah satu sesembahan orang musyrik adalah firman Allah Ta’ala,
وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا أَيَأْمُرُكُمْ بِالْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai Tuhan. Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?” (QS. Ali Imran [3]: 80)
Ayat ke tiga, dalil yang menunjukkan bahwa para Nabi adalah salah satu sesembahan orang musyrik adalah firman Allah Ta’ala,
وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ
“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, “Wahai Isa putera Maryam, apakah kamu mengatakan kepada manusia, ’Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua orang sesembahan selain Allah?’” Isa menjawab, ’Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (untuk mengatakannya). Jika aku pernah mengatakan, maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui perkara yang ghaib.’” (QS. Al-Maidah [5]: 116)
Ayat-ayat di atas merupakan bukti bahwa di samping Allah Ta’ala, juga terdapat sesembahan-sesembahan yang lain. Bahkan dalam banyak ayat pula Allah Ta’ala menyebut sesembahan orang-orang musyrik sebagai “ilah”. Allah Ta’ala berfirman,
وَاتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ آلِهَةً لَعَلَّهُمْ يُنْصَرُونَ
“Mereka mengambil sesembahan-sesembahan selain Allah, agar mereka mendapat pertolongan.” (QS. Yasin [36]: 74)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَمَا ظَلَمْنَاهُمْ وَلَكِنْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ فَمَا أَغْنَتْ عَنْهُمْ آلِهَتُهُمُ الَّتِي يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ لَمَّا جَاءَ أَمْرُ رَبِّكَ وَمَا زَادُوهُمْ غَيْرَ تَتْبِيبٍ
“Dan kami tidaklah menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. Karena itu tiadalah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sesembahan-sesembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Rabb-mu datang. Dan sesembahan-sesembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (QS. Huud [11]: 101)
Kesimpulan, memaknai “laa ilaaha illallah” dengan “tidak ada sesembahan selain Allah” adalah tidak tepat karena realita menunjukkan bahwa di dunia ini terdapat sesembahan-sesembahan yang lain selain Allah Ta’ala. Bahkan Allah Ta’ala sendiri mengakui bahwa kenyataannya memang terdapat sesembahan selain Dia.
Bukti ke dua, kalimat “tidak ada sesembahan kecuali Allah” menimbulkan konsekuensi yang sangat berbahaya. Karena konsekuensi kalimat itu menunjukkan bahwa semua sesembahan orang musyrik adalah Allah Ta’ala.
Kekeliruan makna “tidak ada sesembahan kecuali Allah” juga dapat dilihat dari konsekuensi yang ditimbulkan oleh makna tersebut. Karena kalimat “tidak ada sesembahan kecuali Allah”, berarti “semua sesembahan yang ada di alam semesta ini adalah Allah”. Maka Isa bin Maryam adalah Allah, karena dia adalah sesembahan orang-orang Nasrani. Wadd, Suwa, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr semuanya adalah Allah, karena mereka adalah sesembahan kaum musyrikin pada zaman Nabi Nuh ‘alaihis salaam. Latta, Uzza, dan Manat adalah Allah karena merupakan sesembahan kaum musyrikin sebagai perantara ibadah mereka kepada Allah. Para wali yang dijadikan sebagai perantara dalam berdoa kepada Allah adalah Allah juga, karena mereka merupakan sesembahan para penyembah kubur.
Maka jelaslah, bahwa makna “tidak ada sesembahan selain Allah” menimbulkan konsekuensi yang sangat batil. Konsekuensi pertama, Allah Ta’ala itu tidak hanya satu, namun berbilang sebanyak jumlah bilangan sesembahan yang ada di muka bumi ini (karena sesmua sesembahan di muka bumi ini adalah Allah). Sedangkan konsekuensi batil yang ke dua, bahwa Allah Ta’ala telah menyatu dengan sesembahan-sesembahan tersebut (aqidah wihdatul wujud atau dalam istilah bahasa Jawa “manunggaling kawula-Gusti”).


Baca selengkapnya https://muslim.or.id/45159-kebodohan-kita-terhadap-makna-kalimat-tauhid-bag-3.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RADIOMUSLIM.COM

JADWAL ACARA HARI INI 05: 30-07: 00  Ust Seno Aji Imanullah Live Studio Radio Muslim Jogja 07: 00-08: 00  Ceramah Singkat dan Murottal 08: 00-09: 00  Kajian Tematik (Masjid Baiturrahman Congcat), Ust Afifi Abdul Wadud 09: 00-11: 00  Kajian Tematik Pilihan (rekaman), Asatidzah Pilihan 11: 00-12: 00  Pilihan Ceramah Singkat dan Murottal 12: 00-13: 00  Siaran Jeda (Murottal, Ceramah Pendek) 13: 00-14: 00  Fiqh Muyassar (Rekaman), Ust Aris Munandar 14: 00-15: 00  Pilihan Ceramah Singkat dan Murottal 15: 00-16: 00  Siaran Jeda (Murottal, Ceramah Pendek) & Dzikir Sore 16: 30-17: 00  Live Ustadz Setyo Susilo dari Hamalatul Quran Kajian Bahasa Jawa 17: 00-18: 00  Siaran Jeda (Murottal, Ceramah Pendek) 18: 00-19: 00  Kajian Kitab Sittu Durror (Live MPR), Ust Afifi Abdul Wadud 19: 00-20: 00  Siaran Jeda 20: 00-21: 00  Ustadz Aris Munandar Hidup Hamalatul Quran 21: 00-22: 00  Pilihan Ceramah Singkat dan Murottal Memur

TAHLILAN (SELAMATAN KEMATIAN ) ADALAH BID’AH MUNKAR DENGAN IJMA’ PARA SHAHABAT DAN SELURUH ULAMA ISLAM

TAHLILAN (SELAMATAN KEMATIAN ) ADALAH BID’AH MUNKAR DENGAN IJMA’ PARA SHAHABAT DAN SELURUH ULAMA ISLAM Oleh : Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat عَنْ جَرِيْربْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ : كُنَّا نَرَى (وفِى رِوَايَةٍ : كُنَا نَعُدُّ) اْلاِجْتِمَاع اِلَى أَهلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ (بَعْدَ دَفْنِهِ) مِنَ الْنِّيَاحَةِ “Dari Jarir bin Abdullah Al Bajaliy, ia berkata : ” Kami (yakni para shahabat semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut madzhab kami para shahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap” TAKHRIJ HADITS Hadits ini atau atsar di atas dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (No. 1612 dan ini adalah lafadzhnya) dan Imam Ahmad di musnadnya (2/204 dan riwayat yang kedua bersama tambahannya keduanya adalah dari riwayat beliau), dari jalan Ismail bin Abi Khalid dari Qais bin Abi Hazim dari Jarir sebagaimana tersebut di atas. Saya berkata : Sanad Hadits ini sha

DOWNLOAD KITAB DAN E-BOOK

Download Kitab dan E-Book  Kumpulan download kitab dan ebook. Halaman ini akan terus diupdate, in syaa Allah. Unduh kitab [ Jumlah 72 📁 ] JUDUL KITAB 📅 [KITAB] Tahdzib Siroh Ibnu Hisyam 2019-06-22 [KITAB] Taisirul 'Allam Syarh 'Umdatul Ahkam 2019-04-21 [KITAB] al Irsyad ila Shahihil I'tiqod 2019-04-21 [KITAB] al Mu'taqadus Shahih 2019-04-21 [KITAB] Majalis Syahri Romadhon 2019-04-21 [KITAB] Syarh al Qowa'idul Fiqhiyyah al Khomsul Kubro 2019-04-20 [KITAB] Syarah Qathru an Nada wa Ballu ash Shoda 2019-04-20 [KITAB] Tafsir al Qur'anul Karim (Surat ke 49 sd 57) 2019-04-20 [KITAB] Tafsir al Qur'anul Karim (Juz 'Amma) 2019-04-20 [KITAB] Ushulud Da'wah as Salafiyyah 2019-04-20 [KITAB] Min Ushul 'Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah 2019-04-20 [KITAB] Fathul Wadud al Lathif bi Jam'i wa Tartib Ahammi Durusit Tashrif 2019-04-20 [KITAB] Aqidah Tauhid 2019-04-20 [KITAB] al Mulakhosh al Fiqh Jilid 2 2019-04-20 [KITAB] al Mula